Todaro (1998) menyatakan migrasi merupakan suatu proses yang sangat selektif mempengaruhi setiap individu dengan ciri-ciri ekonomi, sosial, pendidikan dan demografi tertentu, maka pengaruhnya terhadap faktor-faktor ekonomi dan non ekonomi dari masing-masing individu juga bervariasi. Variasi tersebut tidak hanya terdapat pada arus migrasi antar wilayah pada negara yang sama, tetapi juga pada migrasi antar negara.
Beberapa faktor non ekonomis yang mempengaruhi keinginan seseorang melakukan migrasi adalah:
- Faktor-faktor sosial, termasuk keinginan para migran untuk melepaskan dari kendala-kendala tradisional yang terkandung dalam organisasi-organisasi sosial yang sebelumnya mengekang mereka.
- Faktor-faktor fisik, termasuk pengaruh iklim dan bencana meteorologis, seperti banjir dan kekeringan.
- Faktor-faktor demografi, termasuk penurunan tingkat kematian yang kemudian mempercepat laju pertumbuhan penduduk suatu tempat.
- Faktor-faktor kultural, termasuk pembinaan kelestarian hubungan keluarga besar yang berada pada tempat tujuan migrasi
- Faktor-faktor komunikasi, termasuk kualitas seluruh sarana transportasi, sistem pendidikan yang cenderung berorientasi pada kehidupan kota dan dampak-dampak modernisasi yang ditimbulkan oleh media massa atau media elektronik.
Faktor-faktor diatas yang biasanya mempengaruhi tenaga kerja migran internasional. Teori Neoclasic Economic Macro menjelaskan bagaimana proses dan akibat dari perpindahan tenaga kerja yang berasal dari negara yang mengalami surplus tenaga kerja tetapi kekurangan kapital menuju negara yang kekurangan tenaga kerja, tetapi memiliki kapital yang berlimpah.
teori Neoclasic Economic Micro, yang sebetulnya juga memperbincangkan soal pengambilan keputusan ditingkat individu migran, tetapi tidak mencoba menjelaskan persoalan, mengapa seseorang berpindah dengan cara tertentu, mengapa bukan dengan cara yang lain. Teori ini hanya merekomendasikan
kepada para migran potensial itu, agar mempertimbangkan ‘cost and benefit’ dari setiap perpindahan ke daerah tujuan yang memiliki potensi lebih besar dibandingkan dengan daerah asal migran (Massey, 1993 ; dan Kuper and Kuper, 2000).
Teori yang berasal dari perspektif demografi-ekonomi adalah teori Segmented Labour Market. Menurut teori ini, arus migrasi tenaga kerja dari suatu negara; ditentukan oleh adanya faktor permintaan (demand) pasar kerja, yang lebih tinggi di negara lain. Dalam teori ini, faktor penarik yakni pasar kerja (pull
factor) terhadap arus migrasi tenaga kerja, jauh lebih dominan jika dibandingkan dengan faktor penekan lain untuk berpindah (push factor) yang ada di daerah asal. Namun demikian, teori ini kurang memberikan penjelasan yang rinci di tingkat mikro, bagaimana seseorang akhirnya memutuskan untuk berpindah atau tetap tinggal di daerah asalnya.
Karateristik Migran
Karakteristik migran dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu karakteristik demografi, pendidikan dan ekonomi (Todaro, 1998).
a. Karakteristik Demografi
Para migran di negara berkembang umumnya terdiri dari pemuda yang berumur 15 hingga 24 tahun. Sedangkan migran wanita dapat dikelompokkan dalam dua tipe yaitu (1) migrasi wanita sebagai pengikut. Kelompok migran ini terdiri dari para istri dan anak-anak perempuan yang mengikuti migran utama yaitu laki-laki yang menjadi suami atau ayah mereka. (2) Migran wanita solo atau sendirian, yaitu para wanita yang melakukan migrasi tanpa disertai oleh siapapun. Tipe ini yang sekarang terus bertambah dengan pesat.
b. Karakteristik Pendidikan
Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi yang nyata antara taraf pendidikan yang diselesaikan dengan kemungkinan atau dorongan personal untuk melakukan migrasi (propensity to migrate). Mereka yang bersekolah lebih tinggi, kemungkinan untuk bermigrasi lebih besar. Kondisi ini disebabkan oleh perolehan kesempatan kerja sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan. Semakin
tinggi tingkat pendidikan, semakin besar kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan dan semakin kuat keinginan untuk melakukan migrasi.
c. Karakteristik Ekonomitinggi tingkat pendidikan, semakin besar kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan dan semakin kuat keinginan untuk melakukan migrasi.
Selama beberapa tahun terakhir persentase terbesar para migran adalah mereka yang miskin, tidak memiliki tanah, tidak memiliki keahlian dan yang tidak memiliki kesempatan untuk maju di daerah asalnya. Para migran dari daerah pedesaan, baik laki-laki maupun perumpuan dengan segala status sosioekonomi (mayoritas berasal dari golongan miskin) sengaja pindah secara permanen untuk mencari kehidupan yang lebih baik dan melepaskan diri dari belenggu kemiskinan di daerah-daerah pedesaan.
Human capital (modal tenaga kerja) merupakan dana individu yang diinvestasikan untuk memperoleh keahlian, pengetahuan dan pengalaman. Investasi dalam human capital membutuhkan pengorbanan pada masa sekarang tetapi dapat meningkatkan aliran pendapatan pada masa yang akan datang. Sebagai pendekatan mikroekonomi, teori Economic Human Capital berasumsi bahwa seseorang akan memutuskan migrasi ke tempat lain, untuk memperoleh penghasilan yang lebih besar di daerah tujuan, dan asumsi ini
dianalogikan sebagai tindakan melakukan investasi sumber daya manusia.
Menurut teori ini, investasi sumber daya manusia sama artinya dengan investasi di bidang usaha yang lain. Oleh karena itu jika seseorang telah memutuskan untuk berpindah ke tempat lain, berarti ia telah mengorbankan sejumlah pendapatan yang seharusnya ia terima di tempat asalnya, dan akan menjadi opportunity cost untuk meraih sejumlah pendapatan yang lebih besar di tempat tujuan migrasi. Disamping opportunity cost untuk perpindahan semacam itu, individu tersebut juga mengeluarkan biaya langsung dalam bentuk biaya migrasi. Seluruh biaya tersebut (biaya langsung dan opportunity cost) tadi dianggap sebagai investasi dari seorang migran. Imbalannya adalah, adanya arus pendapatan yang lebih besar di
tempat tujuan.
Teori human capital juga meramalkan bahwa migrasi akan mengalir dari daerah-daerah yang relatif miskin ke daerah-daerah yang memiliki kesempatan kerja yang lebih baik. Hasil beberapa studi mengenai migrasi menyatakan bahwa faktor penarik kesempatan kerja yang lebih baik di daerah tujuan lebih kuat dibandingkan faktor pendorong dari daerah asal yang kesempatan kerjanya kecil (Ehrenberg dan Smith, 2003).
McConnell dan Stanley (1995) menyatakan sebelum migran memutuskan untuk bermigrasi, maka mereka harus memikirkan bahwa banyak biaya yang akan dikeluarkan seperti biaya transportasi, tidak memperoleh pendapatan selama mereka pindah, biaya-biaya psikis dari keluarga dan teman-teman dan kehilangan benefit dari kedudukan yang lebih tinggi dan dana pensiun.
Ehrenberg dan Smith (2003) juga menyatakan bahwa migrasi mahal. Para pekerja harus menghabiskan waktu untuk mencari informasi mengenai pekerjaan yang lain, atau paling tidak pekerja tersebut harus mencari pekerjaan yang lebih efisien dari pekerjaan mereka sekarang. Selain itu, yang paling sulit bagi pekerja untuk migrasi adalah meninggalkan keluarga dan teman-teman mereka. Saat pekerjaan yang baru ditemukan, para pekerja akan berhadapan dengan masalah keuangan, psikis, dan biaya-biaya untuk pindah pada lingkungan yang baru. Singkatnya, para pekerja yang pindah pada pekerjaan yang baru menanggung
biaya-biaya saat ini dan akan memperoleh utilitas yang tinggi pada masa yang akan datang.
dianalogikan sebagai tindakan melakukan investasi sumber daya manusia.
Menurut teori ini, investasi sumber daya manusia sama artinya dengan investasi di bidang usaha yang lain. Oleh karena itu jika seseorang telah memutuskan untuk berpindah ke tempat lain, berarti ia telah mengorbankan sejumlah pendapatan yang seharusnya ia terima di tempat asalnya, dan akan menjadi opportunity cost untuk meraih sejumlah pendapatan yang lebih besar di tempat tujuan migrasi. Disamping opportunity cost untuk perpindahan semacam itu, individu tersebut juga mengeluarkan biaya langsung dalam bentuk biaya migrasi. Seluruh biaya tersebut (biaya langsung dan opportunity cost) tadi dianggap sebagai investasi dari seorang migran. Imbalannya adalah, adanya arus pendapatan yang lebih besar di
tempat tujuan.
Teori human capital juga meramalkan bahwa migrasi akan mengalir dari daerah-daerah yang relatif miskin ke daerah-daerah yang memiliki kesempatan kerja yang lebih baik. Hasil beberapa studi mengenai migrasi menyatakan bahwa faktor penarik kesempatan kerja yang lebih baik di daerah tujuan lebih kuat dibandingkan faktor pendorong dari daerah asal yang kesempatan kerjanya kecil (Ehrenberg dan Smith, 2003).
McConnell dan Stanley (1995) menyatakan sebelum migran memutuskan untuk bermigrasi, maka mereka harus memikirkan bahwa banyak biaya yang akan dikeluarkan seperti biaya transportasi, tidak memperoleh pendapatan selama mereka pindah, biaya-biaya psikis dari keluarga dan teman-teman dan kehilangan benefit dari kedudukan yang lebih tinggi dan dana pensiun.
Ehrenberg dan Smith (2003) juga menyatakan bahwa migrasi mahal. Para pekerja harus menghabiskan waktu untuk mencari informasi mengenai pekerjaan yang lain, atau paling tidak pekerja tersebut harus mencari pekerjaan yang lebih efisien dari pekerjaan mereka sekarang. Selain itu, yang paling sulit bagi pekerja untuk migrasi adalah meninggalkan keluarga dan teman-teman mereka. Saat pekerjaan yang baru ditemukan, para pekerja akan berhadapan dengan masalah keuangan, psikis, dan biaya-biaya untuk pindah pada lingkungan yang baru. Singkatnya, para pekerja yang pindah pada pekerjaan yang baru menanggung
biaya-biaya saat ini dan akan memperoleh utilitas yang tinggi pada masa yang akan datang.
Dalam Undang-Undang (UU)no 9 tahun 1992, Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah Negara Republik Indonesia.