Imigrasi dan Protokol Kedaruratan

 


Kejadian pandemi Covid-19 mengajarkan kita mengenai pentingnya protokol kedaruratan. Kementerian luar negeri berdasarkan Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perlindungan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri, memiliki protokol pengamanan WNI dan Diplomat di luar negeri apabila terjadi kedaruratan. Kementerian Kesehatan memiliki aturan penanganan kedaruratan kesehatan di Indonesia. Kemudian bagaimana dengan rencana kedaruratan di Imigrasi?

Photo by <a href="https://unsplash.com/@sigmund?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Sigmund</a> on <a href="https://unsplash.com/photos/MI4iko430gI?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditCopyText">Unsplash</a>

   Penyusunan manajemen perbatasan di masa krisis atau rencana kedaruratan merupakan salah satu bentuk strategi perbatasan yang penting untuk dipersiapkan (Wermuth dan Riley, 2007). Rencana kedaruratan tersebut akan memberikan petunjuk dan arahan yang jelas bagi petugas di perbatasan ketika terjadi serta pasca kedaruratan. Sementara, International Organization for Migration, Internal Guidance Note on Humanitarian Border Management (internal document, 2014) para. 1, menjelaskan bahwa Crisis Border Management yang juga disebut dengan nama “Humanitarian border management”, “Emergency Border Management” atau “Emergency Prepareditioness”, mengatur operasional perbatasan sebelum, pada saat serta setelah masa krisis, yang dapat memicu pergerakan orang secara masif melewati perbatasan.

Manajemen perbatasan ini bertujuan untuk meningkatkan kesiapan petugas yang berwenang untuk menghadapi meningkatnya perlintasan orang di perbatasan akibat dari bencana yang disebabkan oleh manusia maupun alam. Manajemen tersebut dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap migran yang terdampak serta kepentingannya dengan tetap mempertimbangkan kedaulatan dan keamanan negara. Apabila Imigrasi menerapkan konsep ini mencakup seluruh tugas Imigrasi maka strategi kedaruratan ini menjadi Immigration Crisis Management. Namun untuk saat ini cukuplah kita sebut sebagai protokol kedaruratan.

Idealnya Imigrasi sudah bisa membuat sebagian besar protokol kedaruratan berdasarkan pengalaman. Pengalaman dalam menghadapi demonstrasi besar tahun 1997, tsunami di aceh pada tahun 2004 serta kejadian Covid-19 ini bisa diambil pelajaran mengenai penyusunan protokol kedaruratan. Pengalaman tadi bisa memberikan fakta riil penganannya, beserta tantangannya dalam menghadapi kedaruratan. Sebab, pola kedaruratan tadi dimungkinkan untuk terjadi kembali di kemudian hari. Pengalaman dapat dijadikan tambahan informasi dari teori-teori, simulasi-simulasi dan imajinasi-imajinasi dari kemungkinan yang bakal terjadi atau biasa dikenal experiment by thaught

Beberapa hal yang terjadi di negara lain dapat dijadikan pelajaran, seperti keadaan perang di dalam negeri maupun di dunia. Keadaan perang mungkin kesannya mengada-ada tetapi penting untuk dipersiapkan agar ketika terjadi tidak menimbulkan kegamangan dalam mengambil kebijakan dan melaksanakannya. Kita tidak bisa sepenuhnya memahami apa yang mungin terjadi pada perang di timur tengah, situasi di laut china selatan, perang ekonomi dan perdagangan antar negara adidaya, perebutan kekuasaan di Tibet, Hongkong, Palestina, Kashmir dan lain lain. 

Satu hal lagi yang perlu dipertimbangkan adalah apabila terjadi cyber war secara masif. Sistem teknologi informasi kemungkinan bisa terdampak. Apa yang harus dilakukan apabila itu terjadi. Kemungkinan itu mengingatkan bahwa ketergantungan terhadap teknologi sekaligus membuat kita rentan terhadap perusakan. Cyber war mungkin terlalu ekstrim, sedangkan hal-hal yang kecil seperti tidak terkoneksinya jaring telekomunikasi juga memerlukan protokol kedaruratan. Sehingga apabila itu terjadi, Imigrasi di seluruh Indonesia melakukan hal yang sama dalam menghadapinya.

Protokol tadi harus tersedia dan diaktifkan apabila diperlukan. Ketersediaan protokol kedaruratan bukan berarti kita berharap terjadi kedaruratan. Namun, mempersiapkan hal-hal yang tidak diinginkan merupakan bagian dari perencanaan yang biasa dikenal dengan sebutan expected the unexpected. Tahapan yang bisa dipertimbangkan adalah menentukan jenis-jenis protokolnya; mengumpulkan data dan informasi dari pengalaman Imigrasi, instansi lain, serta negara lain; menyusun kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada saat kedaruratan; melakukan pengkategorisasian berdasarkan tahapan lalulintas orang; menyusun konsep dasar protokol; melakukan simulasi berdasarkan konsep yang disusun; memperbaiki konsep dasar serta menyusun detil protokolnya; melakukan simulasi tahap ke 2; memperbaiki konsep protokol; melakukan pembahasan dengan akademisi dan instansi yang berkaitan; memperbaiki konsep protokol; serta finalisasi. 

 Protokol kedaruratan setidaknya mengandung beberapa hal yang bisa mengurangi resiko. Apa yang harus dilakukan, siapa melakukan apa, bagaimana cara melakukan, kapan harus dilakukan, kenapa harus dilakukan, dimana melakukannya.

Kesiapan untuk menghadapi kedaruratan merupakan cerminan dari terorganisirnya sebuah organisasi. Tentunya penyusunan ini bukan merupakan hal yang instan. Prosesnya bisa jadi sangat panjang. Daya tahan dan konsistensi dalam penyusunannya merupakan hal yang utama. Apabila ini dilakukan dengan baik, semoga Imigrasi telah membangun protokol yang kokoh dan siap menghadapi kedaruratan sebagai kontribusi Imigrasi dalam menjaga kedaulatan dan keamanan negara.

 

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama